Kisah Si Munafik

Tiba-tiba ide untuk membuat tulisan ini muncul saat saya dalam perjalanan dengan kereta api menuju ibukota. Perasaan ini muncul sekitar satu bulan belakangan ini. Perasaan muak dengan orang-orang bermuka dua. Perasaan jijik kepada orang-orang yang pandai bersilat lidah. Ahhh, saya pikir ketika perasaan ini mulai muncul, akan hilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Tapi saya keliru, sampai detik ini saat saya menulis ini, perasaan ini semakin kuat. Semakin menggunung hingga saya pikir akan segera meletus dalam waktu dekat ini. Melihat keadaan sekitar yang begitu menjijikan, membuat saya tidak bisa menghilangkan perasaan muak saya. Mungkin ada yang salah dari diri saya, masalah bukan dari orang lain sebenarnya. Mungkin saya yang memang tidak bisa berdamai dengan keadaan. Tapi jujur, saya masih berusaha untuk berpikiran positif kepada orang lain. Walau susah sekali rasanya.

Di usia saya saat ini, saya sudah melihat banyak hal-hal yang membuat saya geleng-geleng kepala dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana pengalaman hidup orang-orang yang sudah sepuh/senior. Mereka mungkin hanya tersenyum apabila melihat hal-hal seperti yang saya alami. Mungkin ini adalah hal yang biasa bagi orang lain. Atau mungkin dulu saya terlalu naif hingga melihat dunia begitu lurus. Begitu yakin bahwa orang-orang itu baik semua - hanya satu dua yang melenceng -. Lagi-lagi, saya benci dengan diri saya sendiri. Kenapa saya begitu yakin dunia akan begitu ramah kepada kita? Hei kalian, hati-hati dalam menggantung harapan! Harapan yang digantung pada tempat yang salah hanya akan membuat harapan itu lama-lama menguap dan lenyap, terkikis oleh waktu dan musnah karena ketidakpercayaan.

Mungkin saya juga sama saja dengan orang-orang yang saya sebut bermuka dua. Hanya pandai berbicara, tapi perilaku dan tindakannya nol. Pandai bermulut manis, tapi siapa yang tahu apa yang saya perbuat di belakang. Munafik. Apa yang dikatakan di mulut berbeda dengan apa yang dilakukan. Pandai membual, mengobral janji, tapi lalu menguaplah janji itu entah kemana. Yah, mungkin saya juga sama saja dengan mereka :). Sama-sama munafik 😭.

Saya hanya bingung dengan orang yang pandai bermulut manis, kenapa bisa begitu manis yang keluar dari bibirnya. Saya pikir dia sudah mengolesi mulutnya dengan gula sebegitu banyak. Saya sering dengar, kita tidak boleh menjadi orang yang idealis, menjadi realistis lebih bagus. Katanya begitu. Tapi kalau kau menjadi realistis karena kompromi apakah itu? Ah, sudahlah.

Maafkan saya kalau tulisan ini carut marut, muter-muter seperti spinner. Otak saya lagi semrawut layaknya benang kusut. Saya tidak bermaksud mengumbar ujaran kebencian - lagi ngetrend sekarang - , saya hanya ingin speak up walau hanya melalui tulisan. Walau lagi-lagi saya hanya berani menulis saja. Hanya berani di belakang hahaha *ketawa miris. 

Bye.

Komentar

Postingan Populer